TUJUAN
KEADILAN, KEPASTIAN DAN KEMANFAATAN HUKUM
Kelompok 2
Ayu Khusnul
khotimah (21213543)
Aziz
Aulia Wijaya (21213569)
Chazanah
Nurul Indriyani (21213882)
Dede
Siti Rohmah (22213111)
Diah
Indriani (22213349)
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur
yang harus selalu diperhatikan yaitu unsur keadilan, unsur kepastian hukum dan
unsur kemanfaatan. Jika dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan
kepastian hukumnya saja, maka unsur lain harus dikorbankan. Demikian pula kalau
yang diperhatikan unsur keadilan maka unsur kepastian hukum dan kemanfaatan
juga harus di korbankan dan begitu selanjutnya. Itulah yang disebut
antinomy yaitu sesuatu yang bertentangan namun tidak dapat dipisahkan satu sama
lainnya. Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur
tersebut. Meski dalam prakteknya tidak selalu mudah mengusahakan kompromi
secara seimbang antara ketiga unsur tersebut di dalam ilmu hukum disebutkan
bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan keadilan dalam
masyarakat. Dalam mernpertahankan ketertiban tersebut hukum harus secara
seimbang melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat.
Tujuan hukum secara umum adalah
mewujudkan keadilan dalam masyarakat, sehingga bagi setiap manusia, kapan, di
mana dan dalam persoalan apapun senantiasa ingin diperlakukan secara adil.
Keadilan merupakan kebutuhan yang fundamental. Karena itu, setiap manusia pasti
mendambakan keadilan walaupun dia sendiri termasuk orang yang tidak adil.
Persoalan keadilan erat kaitannya dengan supremasi hukum. Tanpa sikap adil.
Hukum tidak akan ditegakkan secara adil. Karena itu selain penekanan untuk
memiliki pengetahuan tentang hukum yang komprehensif, juga ditekankan bahwa
kehendak berlaku adil harus menghiasi jiwa penegak hukum baik hakim, jaksa
maupun polisi. Bahkan hal ini mendahului pengetahuan tentang hukum.
Hukum kini dijadikan pihak penguasa
sebagai alat untuk memperkokoh kekuasaannya. Inilah sikap penguasan telah jauh dari sikap adil. Jika hukum dipisahkan
dengan sikap adil, maka hukum dapat “memihak” namun jika hukum dan sikap adil
menyatu dalam diri para penegak keadilan, maka hukum “tidak dapat memihak”
bahkan mampu memperlakukan semua masyarakat secara sama di depan
hukum (equality before the law).
Berlaku adil merupakan perwujudan dari sifat takwa, dan ketakwaan adalah nilai dari ajaran setiap agama. Jika sifat takwa menjiwai dan melandasi setiap perbuatan manusia (termasuk aspek hukumnya), maka hukum akan tampil sebagai penegak keadilan seperti yang dicontohkan oleh nabi muhammad saw dengan sabda: “jika anakku fatimah binti muhammad mencuri maka akan kupotong tangannya.”
Berlaku adil merupakan perwujudan dari sifat takwa, dan ketakwaan adalah nilai dari ajaran setiap agama. Jika sifat takwa menjiwai dan melandasi setiap perbuatan manusia (termasuk aspek hukumnya), maka hukum akan tampil sebagai penegak keadilan seperti yang dicontohkan oleh nabi muhammad saw dengan sabda: “jika anakku fatimah binti muhammad mencuri maka akan kupotong tangannya.”
1.
Pengertian Keadilan
Menurut kamus
besar bahasa indonesia, adil berarti “tidak berat sebelah, memperlakukan
atau menimbang sesuatu dengan cara yang sama dan serupa serta tidak pincang
atau berpihak kepada yang benar; berpegang kepada kebenaran.” Karena itu
adil menyangkut persoalan moral atau budi pekerti. Dengan demikian keadilan
atau bersikap adil merupakan persoalan psikologis atau persoalan rohaniah. Sayid
qutb merumuskan pengertian adil, bahwa:
adil adalah suatu sikap yang mutlak, yang tidak menunjukkan kecondongan cinta atau marah, tidak mengubah ketentuan-ketentuan karena kasih sayang atau benci. Adil itu tidak mempengaruhi pandangan karena pertimbangan-pertimbangan kekeluargaan, tidak menaruh kebencian antara kaum-kaum. Tidak membedakan manusia karena bangsanya, turunannya, hartanya, pangkatnya dan seterusnya. Sedangkan yang satu dengan yang lain diperlakukan secara sama. Keadilan menurut teori hukum islam adalah merupakan proposionalitas antara hak dan kewajiban setiap manusia dalam peran dan kedudukan yang plural serta kedekatan dengan allah swt.Di dalam norma agama, terdapat beberapa ayat dalam al-quran yang berisi tentang kemaslahatan dan keadilan yang merupakan inti dari hukum islam diantaranya terdapat dalam surat :
adil adalah suatu sikap yang mutlak, yang tidak menunjukkan kecondongan cinta atau marah, tidak mengubah ketentuan-ketentuan karena kasih sayang atau benci. Adil itu tidak mempengaruhi pandangan karena pertimbangan-pertimbangan kekeluargaan, tidak menaruh kebencian antara kaum-kaum. Tidak membedakan manusia karena bangsanya, turunannya, hartanya, pangkatnya dan seterusnya. Sedangkan yang satu dengan yang lain diperlakukan secara sama. Keadilan menurut teori hukum islam adalah merupakan proposionalitas antara hak dan kewajiban setiap manusia dalam peran dan kedudukan yang plural serta kedekatan dengan allah swt.Di dalam norma agama, terdapat beberapa ayat dalam al-quran yang berisi tentang kemaslahatan dan keadilan yang merupakan inti dari hukum islam diantaranya terdapat dalam surat :
Al-maidah
ayat 8 “hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang yang selalu
menegakkan kebenaran karena allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada allah, sesungguhnya allah maha mengatahui apa yang kamu
kerjakan
Aristoteles
membagi keadilan menjadi dua bagian, yaitu: keadilan distributif dan keadilan
komutatif.
Keadilan
distributif merupakan pembentuk undang-undang untuk diperhatikan dalam menyusun
undang-undang. Keadilan distributif lebih bersifat proporsional. Sedangkan
keadilan komutatif merupakan urusan hakim.
2.Kepastian
Hukum
Kepastian
hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan
sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat
dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam
artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari
ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau
distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas,
tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh
keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.
Kepastian
hukum akan tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam
undang-undang. Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang
bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis).
Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang
sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat
istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.
2.
Kemanfaatan
hukum (zweckmaeszigkeit)
Secara
etimologi, kata "kemanfaatan" berasal dari kata dasar
"manfaat", yang menurut kamus bahasa indonesia, berarti faedah atau
guna.[34] hukum merupakan
urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai cita-cita masyarakat yang
adil dan makmur. Bagi hans kelsen hukum itu sendiri adalah
suatu sollenskategorie (kategori keharusan)
bukannya seinkategorie (kategori faktual). Yang maksudnya adalah
hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur tingkah laku
manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh
hukum bukanlah ‘bagaimana hukum itu seharusnya’ (what the law ought
to be) melainkan ‘apa hukumnya’ (what is the law). Hukum itu
untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi
manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya
dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat
itu sendi
Contoh
Kasus
Aguswandi
ditangkap satpam dan digelandang ke polsek gambir dengan tuduhan mencuri
listrik. Aguswandi sendiri telah dipenjara selama 87 hari dari 9 september 2009
hingga 3 desember 2009. MA membebaskan aguswandi tanjung karena ngecharge hp di
apartemen roxy mas lantai 7 ke unitnya di no 8 pada 8 september 2009. Putusan
MA ini mematahkan putusan pengadilan negeri jakarta pusat (pn jakpus) yang
menghukumnya 6 bulan dengan masa percobaan 1 tahun penjara.
contoh
kasus
Kasus
lama yang masih cukup relevan untuk menggambarkan adanya kemungkinan benturan
antara aspek keadilan (substantif) dan kepastian hukum (keadilan prosedural),
yaitu dalam kasus Kedung Ombo di Jawa Tengah. Kasus ini berkaitan dengan
sengketa ganti rugi pembebasan tanah yang akan digunakan sebagai proyek waduk
Kedung Ombo di Jawa Tengah, antara warga masyarakat dan Gubernur Jawa Tengah.
Gugatan pada awalnya diajukan pada 1990 di Pengadilan Negeri Semarang, kemudian
berlanjut dengan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Semarang, Kasasi dan
Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Pihak Penggugat adalah warga masyarakat
yang dibebaskan tanahnya untuk pembangunan waduk Kedung Ombo, sedang
tergugatnya adalah Gubernur Jawa Tengah (Terggugat I) yang dianggap telah
menetapkan ganti rugi secara sepihak tanpa musyawarah dan pimpinan proyek waduk
Kedung Ombo (Tergugat II). Dalam tuntutannya, antara lain penggugat minta
tergugat memberikan ganti rugi tanahnya sebesar Rp. 10.000,00 permeter2 ,
karena tanah milik para penggugat sudah tidak dapat digunakan lagi. Sehubungan
dengan gugatan tersebut, PN Semarang dalam putusannya No. 117/Pdt/G/1990/PN.Smg
menyatakan menolak gugatan para penggugat seluruhnya. Dalam upaya hukum
banding, Pengadilan Tinggi Semarang kembali menguatkan putusan sebelumnya,
dengan tetap menolak gugatan. Selanjutnya dalam tingkat kasasi, Majelis hakim
kasasi menjatuhkan putusan yang dianggap fenomenal. Dalam putusannya No.
2263.K/Pdt/1991, Majelis hakim kasasi yang dipimpin oleh Z. Asikin Kusumah
Atmadja, SH. Menghukum pihak tergugat untuk membayar ganti rugi secara tanggung
renteng, berupa antara lain : a. Kerugian materiel untuk tanah dan atau
bangunan Rp. 50.000,00/M2 , sedangkan untuk tanaman-tanaman sebesar Rp. 30.000,00/M2
. b. Kerugian yang timbul yang bersifat immateriel, yaitu sesuai dengan petitum
secara Ex Aequeo et Bono sebesar Rp. 2000.000.000,00. Secara yuridis normatif,
putusan kasasi ini memang berupaya menerobos ketentuan hukum dalam Pasal 178
ayat (3) HIR, yang berbunyi : “Hakim wajib mengadili seluruh bagian gugatan,
tatapi Hakim dilarang menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak dituntut atau
mengabulkan putusan lebih daripada yang dituntut.”
Dalam
hal ini terlihat bahwa pada gugatan awalnya penggugat hanya menuntut ganti rugi
atas tanahnya sebesar Rp. 10.000,00/M2 tetapi dalam putusan kasasi dikabulkan
ganti rugi atas tanahnya sebesar Rp. 50.000,00/M2 . Di samping itu majelis
hakim kasasi juga mengabulkan ganti rugi immateriel sebesar Rp. 2000.000.000,00,
yang pada umumnya jarang dikabulkan dalam suatu putusan. Meskipun demikian,
majelis hakim kasasi beralasan bahwa putusan tersebut dijatuhkan atas
pertimbangan aspek keadilan, tidak semata-mata pada aspek kepastian hukum.
Memang dilihat dari sisi kepastian hukum bisa dikatakan melanggar ketentuan
Pasal 178 ayat (3) HIR, tetapi dari sisi keadilan perlu diperhatikan bahwa
harga tanah tidak mungkin konstan/tetap dari waktu kewaktu apalagi sudah
berjalan beberapa tahun, sehingga sudah sepantasnya ganti rugi atas tanah juga
disesuaikan dengan keadaan riel pada saat itu. Sehingga dapat dikatakan ketika
terjadi benturan antara aspek keadilan dan kepastian hukum, majelis kasasi
lebih mendahulukan aspek keadilannya. Banyak yang menyayangkan ketika pada
akhirnya dalam upaya hukum peninjauan kembali, majelis hakim peninjauan kembali
kemudian menganulir putusan kasasi Mahkamah Agung, karena dianggap asas hukum
dan ketentuan yang berlaku, terutama yang diatur dalam Pasal 178 ayat (3) HIR.
Majelis hakim peninjauan kembali nampaknya di sini lebih menitikberatkan pada
aspek kepastian hukumnya (keadilan proseduralnya) dibandingkan aspek keadilan
(substantifnya) dalam menjatuhkan putusannya.
Keadilah
hukum harus ditegakkan oleh penegak hukum di indonesia demi memberikan rasa keadilan
bagi masyarakat. Sebab, saat ini sering dijumpai penegakan hukum yang lebih
mengutamakan kepastian hukum. Negara harus mengubah politik hukum. Tegakkan
keadilan, kepastian, baru kemanfaatan. Tapi sekarang kebalik, kepastian dulu
baru keadilan. Jadinya masyarakat tidak mendapat keadilan sebenarnya.
Referensi
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar