Hukum Perdata
Kelompok
2 :
Ayu Khusnul khotimah (21213543)
Aziz Aulia Wijaya (21213569)
Chazanah Nurul Indriyani (21213882)
Dede Siti Rohmah (22213111)
Diah Indriani (22213349)
A. Latar Belakang
Pada
dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu
“hubungan”, baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain.
Adakalanya hubungan antara seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus
seperti yang diharapkan, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai
contoh sebagai akibat terjadinya hubungan pinjam meminjam saja seringkali
menimbulkan permasalahan hukum. Atau contoh lain dalam hal terjadinya putusnya
perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan hukum.
Ketentuan mengenai hukum perdata ini
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau lebih dikenal
dengan BW (Burgelijke Wetboek).
Sistematika Hukum Perdata menurut BW
terdiri atas 4 buku:
BUKU
I
: Tentang orang (van personen)
Yaitu memuat hukum
tentang diri seseorang dan hukum keluarga.
BUKU
II :
Tentang benda (van zaken).
Yaitu memuat hukum kebendaan serta
hukum waris.
BUKU III
: Tentang perikatan (van verbintenissen)
Yaitu memuat hukum kekayaan yang
mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau
pihak-pihak tertentu.
BUKU
IV : Tentang
pembuktian dan daluarsa (van bewijs en verjaring) (memuat ketentuan alat-alat
bukti dan akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum)
Hukum perdata merupakan hukum yang
meliputi semua hukum “Privat materil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan. Hukum perdata terdiri atas :
Istilah
hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai
teremahan dari burgerlijkrecht pada masa penduduka jepang.Di
samping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrechtdan privatrecht.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum
perdata yang dipaparkan para ahli di atas, kajian utamnya pada pengaturan
tentang perlindungan antara orang yang satu degan orang lain, akan tetapi di
dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang tetapi badan hukum juga
termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu
keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik tertulis maupun tidak tertulis) yang
mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam hubungan
kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
B. Tujuan
Memberikan
perlindungan hukum untuk mencegah tindakan main hakim sendiri dan untuk
menciptakan suasana yang tertib atau dengan kata lain untuk mencapai suasana
yang tertib hukum dimana seseorang mempertahankan haknya, sehingga tidak
terjadi tindakan sewenang-wenang .
Contoh Kasus :
Pewarisan berdasarkan testamentair
artinya pewarisan didasarkan pada wasiat dari orang yang meninggal
(pewaris).Pewarisan dengan wasiat tersebut harus dibuat dengan Surat
Wasiat. Surat wasiat atau testament adalah surat atau akta
yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya kelak terhadap
harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Sebuah wasiat harus dibuat dalam bentuk
akta atau surat (yang ditandatangani oleh pewaris), dan tidak boleh hanya dalam bentuk lisan. Surat tersebut
harus berisi pernyataan tegas dari pewaris tentang apa yang akan terjadi
terhadap harta kekayaannya jika ia kelak meninggal dunia. Sebelum pewaris
meninggal dunia, surat wasiat tersebut
masih dapat dicabut atau diubah oleh pewaris.
Agar sebuah surat wasiat bernilai hukum dan tidak
cacat, maka harus diperhatikan hal-hal berikut:
- Pewaris harus telah dewasa,
yaitu telah berumur minimal 21 tahun.
- Obyek warisan yang akan
diwariskan harus jelas dan tegas, dan merupakan milik dari pewaris.
- Obyek warisan bukan sesuatu
yang bertentangan dengan hukum atau bertentangan dengan kesusilaan dan
kepentingan umum.
- Pewaris memiliki akal yang
sehat (tidak terganggu jiwanya), menandatangani surat wasiat tanpa tekanan
atau paksaan, tidak berada dalam kekhilafan atau kekeliruan, dan tidak
sedang berada dibawah pengampuan.
Pewarisan secara absentatio adalah pewarisan menurut undang-undang karena
adanya hubungan kekeluargaan (hubungan darah). Berbeda dengan absentatio, pewarisan
berdasarkan testamentair dilakukan
dengan cara penunjukan, yaitu pewaris (orang
yang meninggalkan harta warisan)
semasa hidupnya telah membuat surat
wasiat (testament)
yang menunjuk seseorang untuk menerima harta warisan yang ditinggalkannya
kelak.
Sidang Rebutan Warisan Adi Firansyah
indosiar.com,
Jakarta - Kasus rebutan warisan almarhum Adi Firansyah akhirnya bergulis ke
Pengadilan.Sidang pertama perkara ini telah digelar Kamis (12/04) kemarin di
Pengadilan Agama Bekasi.Warisan pesinetron muda yang meninggal akibat
kecelakaan sepeda motor ini, menjadi sengketa antara Ibunda almarhum dengan
Nielsa Lubis, mantan istri Adi.
Nielsa
menuntut agar harta peninggalan Adi segera dibagi. Nielsa beralasan Ia hanya
memperjuangkan hak Chavia, putri hasil perkawinannya dengan Adi. Sementara
Ibunda Adi mengatakan pada dasarnya pihaknya tidak keberatan dengan pembagian
harta almarhum anaknya. Namun mengenai rumah yang berada di Cikunir Bekasi,
pihaknya berkeras tidak akan menjual, menunggu Chavia besar.
Menurut
Nielsa Lubis, Mantan Istri Alm Adi Firansyah, "Saya menginginkan
penyelesaiannya secara damai dan untuk pembagian warisan toh nantinya juga buat
Chavia.Kita sudah coba secara kekeluargaan tapi tidak ada solusinya."
Menurut
Ny Jenny Nuraeni, Ibunda Alm Adi Firansyah, "Kalau pembagian pasti juga
dikasih untuk Nielsa dan Chavia. Pembagian untuk Chavia 50% dan di notaris
harus ada tulisan untuk saya, Nielsa dan Chavia.Rumah itu tidak akan dijual
menunggu Chavia kalau sudah besar."
Terlepas
dari memperjuangkan hak, namun mencuatnya masalah ini mengundang
keprihatinan.Karena ribut-ribut mengenai harta warisan rasanya memalukan.Selain
itu, sangat di sayangkan jika gara-gara persoalan ini hubungan keluarga
almarhum dengan Nielsa jadi tambang meruncing.
Sebelum
ini pun mereka sudah tidak terjalin komunikasi.Semestinya hubungan baik harus
terus dijaga, sekalipun Adi dan Nielsa sudah bercerai, karena hal ini dapat
berpengaruh pada perkembangan psikologis Chavia.
"Saya
tidak pernah komunikasi semenjak cerai dan mertua saya tidak pernah
berkomunikasi dengan Chavia (jaranglah)", ujar Nielsa Lubis.
"Bagaimana
juga saya khan masih mertuanya dan saya kecewa berat dengan dia. Saya siap akan
mengasih untuk haknya Chavia", ujar Ny Jenny Nuraeni. (Aozora/Devi)
Solusi:
Dikasus ini, yang meninggalkan harta warisan adalah
almarhum mantan suami yang menjadi rebutan antara sang ibu almarhum dengan
mantan istri almarhum, dan almarhum telah memiliki anak dari mantan istrinya.
Untuk status rumah yang ditinggalkan oleh almarhum, tergantung
kapan almarhum memiliki rumah tersebut, jika almarhum sudah memilikinya sejak
masih bersama mantan istri maka status rumah merupakan harta bersama atau harta
gono gini yang diperoleh dari almarhum saat masih bersama mantan istrinya. Hal
ini sesuai dengan pengertian harta bersama menurut ketentuan pasal 35 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Dan Apabila terjadi suatu perceraian, maka pembagian
harta bersama diatur menurut hukum masing masing (pasal 37 UUP).Yang dimaksud
dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Mengenai harta benda dalam perkawinan, pengaturan
ada di dalam pasal 35 UUP dan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Harta bersama, yaitu harta benda yang
diperoleh selama perkawinan dan dikuasai oleh suami dan istri dalam artian
bahwa suami atau istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan
kedua belah pihak. Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud "hukumnya"
masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain (pasal 37
UUP).
2. Harta bawaan, yaitu harta benda yang
dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika terjadi perkawinan dan
dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing
atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya (pasal 36 ayat 2 UUP). Tetapi apabila pihak suami dan istri menentukan
lain, misalnya dengan perjanjian perkawinan, maka penguasaan harta bawaan
dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian juga apabila terjadi
perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya,
kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
3. Harta perolehan, yaitu harta benda
yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebagai hadiah atau warisan dan
penguasaannya pada dasarnya seperti harta bawaan.
Berdasarkan uraian di atas apabila dikaitkan dengan
kasus diatas maka mantan istri almarhum mempunyai hak atau berhak atas harta
yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tanpa melihat alasan-alasan yang
diajukan dan harta tersebut disebut harta bersama.
Mengenai hibah terhadap anak dapat saja dilakukan
tetapi tanpa penghibahan pun seorang anak secara otomatis sudah menjadi ahli
waris dari kedua orang tuanya. Hibah dapat dilakukan jika tidak merugikan apa
yang menjadi hak dari ahli waris, disamping itu mantan istri almarhum juga
berhak atas harta warisan tersebut.
Referensi
: