Jumat, 20 November 2015

Buruh Meminta Kenaikan UMR



Nama                                    :Diah Indriani
Npm                                      :22213349
Kelas                                    :3EB06

Tema                            : Perkembangan Ekonomi Indonesia
Judul                            : Buruh Meminta Kenaikan UMR
Premis Mayor (Umum) : pengupahan yang tidak sesuai dengan tuntutan
Premis Minor (Khusus) : KHL yang kurang terpenuhi bagi buruh pada UMR
Kesimpulan                  : Harapan akan adanya Upah layak Bagi buruh terpenuhi sesuai dengan
   kebutuhan


   UMR(Upah Minimum Regional) adalah standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha untuk memberikan gaji/upah kepada karyawan atau pegawai.UMR pada tiap daerah tidak sama ,buruh menginginkan upah yang sesuai.Buruh mengadakan demo, menolak PP (Peraturan Pemerintah) mengenai pengupahan yang tidak sesuai dengan tuntutan buruh karena kenaikan UMR tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Buruh menuntut kenaikan UMR diatas 3 juta, namun pemerintah dibawah 3 juta. Pengusaha bisa menaikan gaji buruh tetapi resikonya bagi para pekerja yang bisa mengurangi pekerjaannya, meminta penundaan kenaikan upah buruh diperusahaan. Pemerintah memberi toleransi kepada pengusaha untuk menunda kenaikan UMR agar tidak terjadi PHK massal.

     Pemerintah memasukan penambahan KHL(kebutuhan hidup layak),kebutuhan hidup layak yang memang harus terpenuhi dan penting untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari.bertambahnya UMR Yang tidak sesuai maka semakin sulit saja kebutuhan yang akan terpenuhi

Jumat, 16 Oktober 2015

Dampak Kenaikan Upah Setiap Tahun Di Indonesia

Dampak Kenaikan Upah Setiap Tahun Di Indonesia

Upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja kesepakatan atau peraturan perundang-undangan .
Pada saat ini Pemerintah Indonesia telah memastikan upah pekerja akan naik setiap tahunnya, dengan upah tenaga sekitar 5% setiap tahunnya. Upah naik hanya 5%, sedangkan kenaikan harga malah mencapai angka 10-15%.Kondisi semacam inilah yang perlu dicarikan solusi cerdasnya.Memang secara umum, harga yang terjadi dipasarakan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Semua komoditas, cenderung akan mengikuti pola seperti ini. Jadi kenaikan ini harus merujuk pada azaz keadilan agar keuntungan atau pendapatan lebih dari pengusaha dapat dirasakan juga oleh pekerjanya.Dampak kenaikan upah, kerap kali melahirkan beragam masalah yang sesungguhnya sudah dapat diprediksi sedini mungkin.
Dampak positif dari kenaikan upah yaitu :
1.      Meningkatkan tingkat konsumsi domestic
2.      Memotivasi para pekerja
3.      Mendorong para pengusaha untuk berfikir kreatif dan inovatif
4.      Meningkatkan tingkat bunga dan lowongan kerja
Dampak negative dari kenaikan upah yaitu:
1.      Meningkatkan tingkat inflasi
2.      Tak ada perbedaan antara sebelum kenaikan Upah dan sesudahnya
3.      Bertambahnya jumlah pengangguran dan perusahaan akan tutup
4.      Kesejahteraan yang tidak merata
5.      Kelebihan penawaran tenaga kerja
Bentuk Paragraf :
Artikel diatas merupakan bentuk Paragraf Deduktif karena menceritakan gambaran umum tentang “UPAH”  kegambaran khusus yaitu“UPAH DI INDONESIA”. Dan juga menceritakan gambaran tentang kenaikan upah di indonesia (UMUM) kemudian menjelaskan dampak positif dan negative kenaikan upah(Khusus).

Kesimpulan:
Upah buruh harus naik setiap tahun merupakan kebijakan yang tepat tepat diambil oleh pemerintah agar kesejahteraan buruh dapat terealisasi. namun agar  daya beli masyarakat meningkat maka kenaikan upah harus merata dan juga pemerintah harus menjaga agar dampak kenaikan upah tidak meningkatkan inflasi.
 
Sumber :

Jumat, 08 Mei 2015

HUKUM PERDATA



Hukum Perdata
Kelompok 2 :
Ayu Khusnul khotimah (21213543)
Aziz Aulia Wijaya (21213569)
Chazanah Nurul Indriyani (21213882)
Dede Siti Rohmah (22213111)
Diah Indriani (22213349)

A. Latar Belakang
            Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”, baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai contoh sebagai akibat terjadinya hubungan pinjam meminjam saja seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Atau contoh lain dalam hal terjadinya putusnya perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan hukum.
Ketentuan mengenai hukum perdata ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau lebih dikenal dengan BW (Burgelijke Wetboek).
Sistematika Hukum Perdata menurut BW terdiri atas 4 buku:
BUKU I              :  Tentang orang (van personen)
Yaitu memuat   hukum tentang diri seseorang dan hukum keluarga.
BUKU II             : Tentang benda (van zaken).
Yaitu memuat hukum kebendaan serta hukum waris.
BUKU III            : Tentang perikatan (van verbintenissen)
Yaitu memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
BUKU IV           : Tentang pembuktian dan daluarsa (van bewijs en verjaring) (memuat ketentuan alat-alat bukti dan akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum)
Hukum perdata merupakan hukum yang meliputi semua hukum “Privat materil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Hukum perdata terdiri atas :
Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai teremahan dari burgerlijkrecht pada masa penduduka jepang.Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrechtdan privatrecht.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para ahli di atas, kajian utamnya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang satu degan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.


B. Tujuan
            Memberikan perlindungan hukum untuk mencegah tindakan main hakim sendiri dan untuk menciptakan suasana yang tertib atau dengan kata lain untuk mencapai suasana yang tertib hukum dimana seseorang mempertahankan haknya, sehingga tidak terjadi tindakan sewenang-wenang .

Contoh Kasus :

            Pewarisan berdasarkan testamentair artinya pewarisan didasarkan pada wasiat dari orang yang meninggal (pewaris).Pewarisan dengan wasiat tersebut harus dibuat dengan Surat Wasiat. Surat wasiat atau testament adalah surat atau akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya kelak terhadap harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Sebuah wasiat harus dibuat dalam bentuk akta atau surat (yang ditandatangani oleh pewaris), dan tidak boleh hanya dalam bentuk lisan. Surat tersebut harus berisi pernyataan tegas dari pewaris tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya jika ia kelak meninggal dunia. Sebelum pewaris meninggal dunia, surat wasiat tersebut masih dapat dicabut atau diubah oleh pewaris.
Agar sebuah surat wasiat bernilai hukum dan tidak cacat, maka harus diperhatikan hal-hal berikut:
  • Pewaris harus telah dewasa, yaitu telah berumur minimal 21 tahun.
  • Obyek warisan yang akan diwariskan harus jelas dan tegas, dan merupakan milik dari pewaris.
  • Obyek warisan bukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum atau bertentangan dengan kesusilaan dan kepentingan umum.
  • Pewaris memiliki akal yang sehat (tidak terganggu jiwanya), menandatangani surat wasiat tanpa tekanan atau paksaan, tidak berada dalam kekhilafan atau kekeliruan, dan tidak sedang berada dibawah pengampuan.
Pewarisan secara  absentatio adalah pewarisan menurut undang-undang karena adanya hubungan kekeluargaan (hubungan darah). Berbeda dengan absentatio, pewarisan berdasarkan testamentair dilakukan dengan cara penunjukan, yaitu pewaris (orang yang meninggalkan harta warisan) semasa hidupnya telah membuat surat wasiat (testament) yang menunjuk seseorang untuk menerima harta warisan yang ditinggalkannya kelak.
Sidang Rebutan Warisan Adi Firansyah
indosiar.com, Jakarta - Kasus rebutan warisan almarhum Adi Firansyah akhirnya bergulis ke Pengadilan.Sidang pertama perkara ini telah digelar Kamis (12/04) kemarin di Pengadilan Agama Bekasi.Warisan pesinetron muda yang meninggal akibat kecelakaan sepeda motor ini, menjadi sengketa antara Ibunda almarhum dengan Nielsa Lubis, mantan istri Adi.
Nielsa menuntut agar harta peninggalan Adi segera dibagi. Nielsa beralasan Ia hanya memperjuangkan hak Chavia, putri hasil perkawinannya dengan Adi. Sementara Ibunda Adi mengatakan pada dasarnya pihaknya tidak keberatan dengan pembagian harta almarhum anaknya. Namun mengenai rumah yang berada di Cikunir Bekasi, pihaknya berkeras tidak akan menjual, menunggu Chavia besar.
Menurut Nielsa Lubis, Mantan Istri Alm Adi Firansyah, "Saya menginginkan penyelesaiannya secara damai dan untuk pembagian warisan toh nantinya juga buat Chavia.Kita sudah coba secara kekeluargaan tapi tidak ada solusinya."
Menurut Ny Jenny Nuraeni, Ibunda Alm Adi Firansyah, "Kalau pembagian pasti juga dikasih untuk Nielsa dan Chavia. Pembagian untuk Chavia 50% dan di notaris harus ada tulisan untuk saya, Nielsa dan Chavia.Rumah itu tidak akan dijual menunggu Chavia kalau sudah besar."
Terlepas dari memperjuangkan hak, namun mencuatnya masalah ini mengundang keprihatinan.Karena ribut-ribut mengenai harta warisan rasanya memalukan.Selain itu, sangat di sayangkan jika gara-gara persoalan ini hubungan keluarga almarhum dengan Nielsa jadi tambang meruncing.
Sebelum ini pun mereka sudah tidak terjalin komunikasi.Semestinya hubungan baik harus terus dijaga, sekalipun Adi dan Nielsa sudah bercerai, karena hal ini dapat berpengaruh pada perkembangan psikologis Chavia.
"Saya tidak pernah komunikasi semenjak cerai dan mertua saya tidak pernah berkomunikasi dengan Chavia (jaranglah)", ujar Nielsa Lubis.
"Bagaimana juga saya khan masih mertuanya dan saya kecewa berat dengan dia. Saya siap akan mengasih untuk haknya Chavia", ujar Ny Jenny Nuraeni. (Aozora/Devi)
Solusi:
Dikasus ini, yang meninggalkan harta warisan adalah almarhum mantan suami yang menjadi rebutan antara sang ibu almarhum dengan mantan istri almarhum, dan almarhum telah memiliki anak dari mantan istrinya.
Untuk status rumah yang ditinggalkan oleh almarhum, tergantung kapan almarhum memiliki rumah tersebut, jika almarhum sudah memilikinya sejak masih bersama mantan istri maka status rumah merupakan harta bersama atau harta gono gini yang diperoleh dari almarhum saat masih bersama mantan istrinya. Hal ini sesuai dengan pengertian harta bersama menurut ketentuan pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Dan Apabila terjadi suatu perceraian, maka pembagian harta bersama diatur menurut hukum masing masing (pasal 37 UUP).Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Mengenai harta benda dalam perkawinan, pengaturan ada di dalam pasal 35 UUP dan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1.    Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan dikuasai oleh suami dan istri dalam artian bahwa suami atau istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak. Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud "hukumnya" masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain (pasal 37 UUP).
2.    Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika terjadi perkawinan dan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat 2 UUP). Tetapi apabila pihak suami dan istri menentukan lain, misalnya dengan perjanjian perkawinan, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian juga apabila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
3.    Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebagai hadiah atau warisan dan penguasaannya pada dasarnya seperti harta bawaan.
Berdasarkan uraian di atas apabila dikaitkan dengan kasus diatas maka mantan istri almarhum mempunyai hak atau berhak atas harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tanpa melihat alasan-alasan yang diajukan dan harta tersebut disebut harta bersama.
Mengenai hibah terhadap anak dapat saja dilakukan tetapi tanpa penghibahan pun seorang anak secara otomatis sudah menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Hibah dapat dilakukan jika tidak merugikan apa yang menjadi hak dari ahli waris, disamping itu mantan istri almarhum juga berhak atas harta warisan tersebut.
Referensi :


Sabtu, 04 April 2015

Tujuan Keadilan,Kepastian dan kemanfaatan hukum



TUJUAN KEADILAN, KEPASTIAN DAN KEMANFAATAN HUKUM
Kelompok 2
Ayu Khusnul khotimah (21213543)
Aziz Aulia Wijaya (21213569)
Chazanah Nurul Indriyani (21213882)
Dede Siti Rohmah (22213111)
Diah Indriani (22213349)

            Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu unsur keadilan, unsur kepastian hukum dan unsur kemanfaatan. Jika dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukumnya saja, maka unsur lain harus dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan unsur keadilan maka unsur kepastian hukum dan kemanfaatan juga harus di korbankan dan begitu selanjutnya.  Itulah yang disebut antinomy yaitu sesuatu yang bertentangan namun tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Meski dalam prakteknya tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara seimbang antara ketiga unsur tersebut di dalam ilmu hukum disebutkan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Dalam mernpertahankan ketertiban tersebut hukum harus secara seimbang melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat.
            Tujuan hukum secara umum adalah mewujudkan keadilan dalam masyarakat, sehingga bagi setiap manusia, kapan, di mana dan dalam persoalan apapun senantiasa ingin diperlakukan secara adil. Keadilan merupakan kebutuhan yang fundamental. Karena itu, setiap manusia pasti mendambakan keadilan walaupun dia sendiri termasuk orang yang tidak adil. Persoalan keadilan erat kaitannya dengan supremasi hukum. Tanpa sikap adil. Hukum tidak akan ditegakkan secara adil. Karena itu selain penekanan untuk memiliki pengetahuan tentang hukum yang komprehensif, juga ditekankan bahwa kehendak berlaku adil harus menghiasi jiwa penegak hukum baik hakim, jaksa maupun polisi. Bahkan hal ini mendahului pengetahuan tentang hukum.
            Hukum kini dijadikan pihak penguasa sebagai alat untuk memperkokoh kekuasaannya. Inilah sikap penguasan telah  jauh dari sikap adil. Jika hukum dipisahkan dengan sikap adil, maka hukum dapat “memihak” namun jika hukum dan sikap adil menyatu dalam diri para penegak keadilan, maka hukum “tidak dapat memihak” bahkan mampu memperlakukan semua masyarakat secara sama di depan hukum (equality before the law).
Berlaku adil merupakan perwujudan dari sifat takwa, dan ketakwaan adalah nilai dari ajaran setiap agama. Jika sifat takwa menjiwai dan melandasi setiap perbuatan manusia (termasuk aspek hukumnya), maka hukum akan tampil sebagai penegak keadilan seperti yang dicontohkan oleh nabi muhammad saw dengan sabda: “jika anakku fatimah binti muhammad mencuri maka akan kupotong tangannya.”


1.      Pengertian Keadilan
Menurut kamus besar bahasa indonesia, adil berarti “tidak berat sebelah, memperlakukan atau menimbang sesuatu dengan cara yang sama dan serupa serta tidak pincang atau berpihak kepada yang benar; berpegang kepada kebenaran.” Karena itu adil menyangkut persoalan moral atau budi pekerti. Dengan demikian keadilan atau bersikap adil merupakan persoalan psikologis atau persoalan rohaniah. Sayid qutb merumuskan pengertian adil, bahwa:
adil adalah suatu sikap yang mutlak, yang tidak menunjukkan kecondongan cinta atau marah, tidak mengubah ketentuan-ketentuan karena kasih sayang atau benci. Adil itu tidak mempengaruhi pandangan karena pertimbangan-pertimbangan kekeluargaan, tidak menaruh kebencian antara kaum-kaum. Tidak membedakan manusia karena bangsanya, turunannya, hartanya, pangkatnya dan seterusnya. Sedangkan yang satu dengan yang lain diperlakukan secara sama. Keadilan menurut teori hukum islam adalah merupakan proposionalitas antara hak dan kewajiban setiap manusia dalam peran dan kedudukan yang plural serta kedekatan dengan allah swt.Di dalam norma agama, terdapat beberapa ayat dalam al-quran yang berisi tentang kemaslahatan dan keadilan yang merupakan inti dari hukum islam diantaranya terdapat dalam surat :
Al-maidah ayat 8 “hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada allah, sesungguhnya allah maha mengatahui apa yang kamu kerjakan
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua bagian, yaitu: keadilan distributif dan keadilan komutatif.
Keadilan distributif merupakan pembentuk undang-undang untuk diperhatikan dalam menyusun undang-undang. Keadilan distributif lebih bersifat proporsional. Sedangkan keadilan komutatif merupakan urusan hakim.
2.Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.
Kepastian hukum akan tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang. Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.
2.      Kemanfaatan hukum (zweckmaeszigkeit)
Secara etimologi, kata "kemanfaatan" berasal dari kata dasar "manfaat", yang menurut kamus bahasa indonesia, berarti faedah atau guna.[34] hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Bagi hans kelsen hukum itu sendiri adalah suatu sollenskategorie (kategori keharusan) bukannya seinkategorie (kategori faktual). Yang maksudnya adalah hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah ‘bagaimana hukum itu seharusnya’ (what the law ought to be) melainkan ‘apa hukumnya’ (what is the law). Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu sendi
Contoh Kasus
Aguswandi ditangkap satpam dan digelandang ke polsek gambir dengan tuduhan mencuri listrik. Aguswandi sendiri telah dipenjara selama 87 hari dari 9 september 2009 hingga 3 desember 2009. MA membebaskan aguswandi tanjung karena ngecharge hp di apartemen roxy mas lantai 7 ke unitnya di no 8 pada 8 september 2009. Putusan MA ini mematahkan putusan pengadilan negeri jakarta pusat (pn jakpus) yang menghukumnya 6 bulan dengan masa percobaan 1 tahun penjara.
contoh kasus
Kasus lama yang masih cukup relevan untuk menggambarkan adanya kemungkinan benturan antara aspek keadilan (substantif) dan kepastian hukum (keadilan prosedural), yaitu dalam kasus Kedung Ombo di Jawa Tengah. Kasus ini berkaitan dengan sengketa ganti rugi pembebasan tanah yang akan digunakan sebagai proyek waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, antara warga masyarakat dan Gubernur Jawa Tengah. Gugatan pada awalnya diajukan pada 1990 di Pengadilan Negeri Semarang, kemudian berlanjut dengan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Semarang, Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Pihak Penggugat adalah warga masyarakat yang dibebaskan tanahnya untuk pembangunan waduk Kedung Ombo, sedang tergugatnya adalah Gubernur Jawa Tengah (Terggugat I) yang dianggap telah menetapkan ganti rugi secara sepihak tanpa musyawarah dan pimpinan proyek waduk Kedung Ombo (Tergugat II). Dalam tuntutannya, antara lain penggugat minta tergugat memberikan ganti rugi tanahnya sebesar Rp. 10.000,00 permeter2 , karena tanah milik para penggugat sudah tidak dapat digunakan lagi. Sehubungan dengan gugatan tersebut, PN Semarang dalam putusannya No. 117/Pdt/G/1990/PN.Smg menyatakan menolak gugatan para penggugat seluruhnya. Dalam upaya hukum banding, Pengadilan Tinggi Semarang kembali menguatkan putusan sebelumnya, dengan tetap menolak gugatan. Selanjutnya dalam tingkat kasasi, Majelis hakim kasasi menjatuhkan putusan yang dianggap fenomenal. Dalam putusannya No. 2263.K/Pdt/1991, Majelis hakim kasasi yang dipimpin oleh Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH. Menghukum pihak tergugat untuk membayar ganti rugi secara tanggung renteng, berupa antara lain : a. Kerugian materiel untuk tanah dan atau bangunan Rp. 50.000,00/M2 , sedangkan untuk tanaman-tanaman sebesar Rp. 30.000,00/M2 . b. Kerugian yang timbul yang bersifat immateriel, yaitu sesuai dengan petitum secara Ex Aequeo et Bono sebesar Rp. 2000.000.000,00. Secara yuridis normatif, putusan kasasi ini memang berupaya menerobos ketentuan hukum dalam Pasal 178 ayat (3) HIR, yang berbunyi : “Hakim wajib mengadili seluruh bagian gugatan, tatapi Hakim dilarang menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak dituntut atau mengabulkan putusan lebih daripada yang dituntut.”
Dalam hal ini terlihat bahwa pada gugatan awalnya penggugat hanya menuntut ganti rugi atas tanahnya sebesar Rp. 10.000,00/M2 tetapi dalam putusan kasasi dikabulkan ganti rugi atas tanahnya sebesar Rp. 50.000,00/M2 . Di samping itu majelis hakim kasasi juga mengabulkan ganti rugi immateriel sebesar Rp. 2000.000.000,00, yang pada umumnya jarang dikabulkan dalam suatu putusan. Meskipun demikian, majelis hakim kasasi beralasan bahwa putusan tersebut dijatuhkan atas pertimbangan aspek keadilan, tidak semata-mata pada aspek kepastian hukum. Memang dilihat dari sisi kepastian hukum bisa dikatakan melanggar ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR, tetapi dari sisi keadilan perlu diperhatikan bahwa harga tanah tidak mungkin konstan/tetap dari waktu kewaktu apalagi sudah berjalan beberapa tahun, sehingga sudah sepantasnya ganti rugi atas tanah juga disesuaikan dengan keadaan riel pada saat itu. Sehingga dapat dikatakan ketika terjadi benturan antara aspek keadilan dan kepastian hukum, majelis kasasi lebih mendahulukan aspek keadilannya. Banyak yang menyayangkan ketika pada akhirnya dalam upaya hukum peninjauan kembali, majelis hakim peninjauan kembali kemudian menganulir putusan kasasi Mahkamah Agung, karena dianggap asas hukum dan ketentuan yang berlaku, terutama yang diatur dalam Pasal 178 ayat (3) HIR. Majelis hakim peninjauan kembali nampaknya di sini lebih menitikberatkan pada aspek kepastian hukumnya (keadilan proseduralnya) dibandingkan aspek keadilan (substantifnya) dalam menjatuhkan putusannya.
Keadilah hukum harus ditegakkan oleh penegak hukum di indonesia demi memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Sebab, saat ini sering dijumpai penegakan hukum yang lebih mengutamakan kepastian hukum. Negara harus mengubah politik hukum. Tegakkan keadilan, kepastian, baru kemanfaatan. Tapi sekarang kebalik, kepastian dulu baru keadilan. Jadinya masyarakat tidak mendapat keadilan sebenarnya.
Referensi :